RW 56. Ketika Kita Berbuat Baik Hanya Melakoni Secuil Dari Sifat-SifatNya.


google gambar


. . Tadi malam saya hadir di Majelis Taqlim.
. . Di situ oleh penceramah diuraikan tentang haji mabrur. Lalu fokus pada apa itu mabrur? Dari asal kata apa, saya lupa disebutkan, ingat artinya saja yakni kebaikan yang hakiki. Intinya kita harus yakin kebaikan itu datangnya dari dan karena Allah.
. . Tiba pada acara tanya jawab, saya yang terakhir dua kali datang diselingi sekali tidak hadir, kali ini lagi-lagi merasa tidak ada yang perlu ditanyakan. Atau saya pikir kesempatan itu digunakan saja oleh yang lain. Padahal saya paling menyukai kesempatan ini untuk mengeluarkan uneg-uneg.

. . Hanya karena dari tanggapan narasumber terhadap dua tiga pertanyaan yang muncul, saya tergelitik untuk menyampaikan sesuatu. Saya angkat tangan untuk diberi kesempatan.
. . “Terima kasih atas kesempatan yang diberikan. . .”
. . “Pak ustad, biasanya dalam berbuat kebaikan kita diwanti-wanti untuk melakukan itu karena Allah semata. Perbuatan baik apa saja itu hendaknya karena Allah. Saya sadar kalau selama ini lalai. Ketika datang seorang pengemis lalu saya menyedekahkan sesuatu, itu saya lakukan karena kasihan. Tatkala ada yang ditimpa kecelakaan, spontan tak sadar saya sudah dekat ke situ mengulurkan pertolongan. Saya lupa mencari Allah dan membawaNya dalam tindakan baik itu.
Ada juga, ketika kepada saya digunjing aib seseorang, alih-alih mengsuportnya; saya malah mengajak orang itu mengambil satu pelajaran dari situ dengan coba berempati: seandainya kita ada dalam posisi orang itu, yang karena khilaf sampai melakukan aib tersebut, lalu dipergunjingkan orang-orang. . . .?
. . “Bagaimana, pak ustad? Maksudnya saya tidak melakukan semua itu tadi karena Allah, tapi terdorong oleh rasa kasihan, mau menolong, dan berempati pada perasaan orang lain.”
. . Penceramah itu coba menjawabnya dengan arif. Bahwa boleh jadi kebaikan yang kita lakukan itu karena melakoni secuil dari sifat-sifat kebesaran Allah, yakni sifatNya Maha Mengasihi, Maha Menolong dan Maha Mengetahui apa yang tersirat dalam diri dan pikiran hambaNya.
. . Diselingi oleh satu penanya lain, saya merasa perlu menyusulkan satu penjelasan.
. . “Maaf kalau boleh saya memperjelas yang tadi agar tidak salah dipahami. Tadi itu saya tidak bermaksud mengatakan bahwa saya memberi, menolong, dan mengempati kesusahan orang lain itu bukan karena Allah, dalam artian demi dzat selain Allah.”
. . Saya paham, kata ustad penceramah itu. Hanya alangkah lebih baik kita tidak lupa mengingat Asma Allah atas kebaikan yang kita lakoni tersebut.
. . Sesampai di rumah terasa masih ada yang mengganjal. Kata apa ya yang lebih tepat untuk memaknai apa yang saya maksudkan tersebut?
. . A ha, saya dapatkan itu. Tadi itu coba saya katakan seperti ini: “Seandainya ketika berbuat baik itu kita tidak sempat meniatkannya karena Allah, . . . .” Tidak sempat meniatkan Nya, itu istilah yang tepat saya kira.
. . Semoga ke depan, saya bisa lebih baik lagi dalam satunya pikiran dan ucapan. Lebih bagus lagi mampu sampai dengan tindakan. Saya hanya sedang berusaha kea rah itu. Silahkan yang lain lebih dulu dari saya.
. . By : Rahman Wahyu
. . NB :
. . . Mau tawadhu(tawu diri) nih, dalam cerita tadi itu saya belum benar-benar sebagai orang yang gemar memberi, menolong, dan berempati. Saya baru sebatas mau menjadi seperti itu. Kalau pun sudah ada, itu sejauh apa yang saya mampu dan dipikir baik, kadang(jujur saja) . . . , karena ingin kelihatan baik.
. . . Sayangnya, dalam hidup ini terkadang untuk berbuat baik kita tidak cuma bisa mengandalkan faktor semata wayang dari kemauan dan kemampuan diri sendiri. Faktor lain dan karena orang lain dalam lingkaran hidup kita, ikut sangat menentukan sejauhmana kebaikan itu bisa kita lakoni.
Ada yang mau berbeda dalam perspektif ini? Saya menunggunya dengan senang hati.

7 responses to this post.

  1. Assalaamu’alaikum Wr. Wb, RahmanWahyu…

    Hadir untuk memaklumi saya mengizinkan segala komentar yang mas copas di blog saya. Silakan mas. Saya senang kerana ia satu penghargaan buat saya. Mudahan ada manfaatnya.

    Salam mesra dari Sarikei, Sarawak.

    Balas

  2. Waalaikum salam.
    Saya terima dengan senang hati izin dan pemberitahuannya. Dua kali sudah mau saya tanggapi pesan Mbak, baru tadi pagi jadi dan saya singgahkan di ruangnya.
    Sayang ya, datang hanya sekedar mampir sebentar, tak komentar banyak buat saya dengar bicaranya yang panjang dan santun di postingan ini.
    Salam !

    Balas

  3. Posted by ravenshka on Maret 18, 2011 at 4:08 am

    Suara Tuhan adalah suara hati, tapi suara hati belum tentu suara Tuhan…
    Betul sekali jika kebaikan yang kita lakukan ternyata menyerupai sifat-sifat baik Allah SWT, karena kebaikan selalu berasal dari suara hati..letak ikhlas karena ridhoNya juga berawal dari hati.:)

    Balas

    • Koment yang bagus untuk saya, terima kasih.
      Semoga suara hatinya adalah suara Tuhan. Di tunggu suara hati berikut di lapaknya. Eh sudah ada, apa?
      🙂

      Balas

  4. Assalaamu’alaikum wr. wb, mas RahmanWahyu…

    Alhamdulillah, dapat hadir kembali menyapa dan membaca posting mas Rahman ini. Tulisan mencerahkan untuk difikir dan dihayati betapa manusia dianugerah sedikit dari sifat Allah yang Maha Kaya dengan segala sifat agung-Nya.

    Banyak manusia menggunakan nama Allah pada jasadnya tetapi tidak tahu bagaimana menjaga dengan baik namanya sehingga menghilangkan amanah besar pada nama tersebut. Syukur mas Rahman termasuk dalam golongan yang menjaga nama Allah pada nama mas. 😀 Sesungguhnya pada nama itu mempunyai sejuta harapan yang orang tua kita telah lekapkan pada jasad kita.

    Kebaikan akan lahir jika kita tahu fungsi dan peranannya dalam kehidupan kita di dunia dan akhirat. Apabila kita tidak dapat berbuat kebaikan kepada orang lain dengan kekayaan kita, maka berilah kebaikan kepada mereka dengan wajah yang berseri-seri dan akhlak yang mulia.

    Semoga kita selalu berbuat kebaikan dan mendapat secuil dari kebaikan sifat Allah tersebut.

    Salam mesra selalu dari Sarikei, Sarawak.

    Balas

    • Waalaikum Salam War. Wab!
      Salam sejahtera selalu, Encik guru yang santun.
      Terima kasih lagi-lagi sudi mampir ke lapak saya yang tampilannya cukup sederhana ini.
      Wah, saya merasa tersanjung atas makna nama yang mbak berikan. Berat rasanya harus melakoni makna amalan dari nama tersebut. Selalu saja saya dihadapkan dengan jarak untuk mencapainya. Kadang kita tidak sepenuhnya mampu melakoni semua kebaikan yang kita tahu dan ingin kita laksanakan lebih dari yang kita bisa.
      Saya terus mencari jati diri saya yang terbaik dalam keterbatasan itu. Semoga saya bisa menemukannya?
      Salam hangat dari jauh, maaf belum sempat memenuhi permintaannya mengembalikan postingan bicara kita. Kalau tak ada aral melintang saya akan coba kembalikan ke posisinya semula.
      Sekali lagi salam berbagi.

      Balas

  5. semoga membawa manffat bagi kita semua

    Balas

Tinggalkan Balasan ke rahmanwahyu Batalkan balasan