RW 40. PADA SEBUAH EMPATI DARI TENGAH SIMPATI ORANG BANYAK


( Hanya Cerita: Catatan Efektifnya Sebuah Cara Yang Jujur Dan Transparan)
Kisah prihatin dari sebuah rumah sakit. Saat itu lagi giliran menunggui ibuku yang dirawat inap karena menanggung sakit. Seperti biasa mengisi waktu; kalau bukan membaca-baca, aku lebih suka bercerita dengan orang siapa saja yang baru dikenal. Di dalam ibuku sedang ada yang menemani, karena aturan hanya membolehkan satu orang jaga kalau dokter lagi mendiagnosa kasus sakit pasien. Dan dari bangku putih panjang di teras rumah sakit itu, cerita ini dimulai:

Di depan sebuah gedung kulihat kerumunan orang sedang mengerubungi sesuatu. Ada apa? Tak sadar aku sudah di situ mencari tahu lebih dekat. Seorang ibu tua sedang termangu bingung tidak tahu harus berbuat apa. Pada setiap orang yang bertanya dia bercerita anaknya baru saja meninggal setelah melahirkan dua bayi kembar. Di dalam gedung kamar mayat itu anaknya terbujur kaku.
Selain ibu tua itu, keluarga dekat tidak ada. O ada, anak mantunya yang entah di mana sedang berusaha mencari ‘jalan keluar’ bisa membawa pulang mayat istrinya. Mereka keluarga miskin dari jauh (Paguat) yang tidak punya Askeskin. Yang punya hanya ibu tua itu! Barangkali almarhumah anaknya yang jadi pasien melahirkan, tidak kebagian jatah program jaminan kesehatan tersebut.
Meninggalnya sedari jam berapa, ya? Lamat-lamat kudengar sudah ada beberapa jam lalu. Dua bayi kembarnya sedang di kotak inkubator karena lahir prematur. Ada yang cerita salah satunya akan diambil anak oleh suster di rumah sakit itu. Apa tidak bisa perawat itu meringankan beban ongkos membawa pulang mayat ibunya? Hitung-hitung sebagai ungkapan rasa terima kasih karena bisa mendapatkan anak dengan tidak susah-susah melahirkan, terlebih tragis meninggal seperti almarhumah ibu bayi angkatnya ini.
Kalau hanya soal transport membawa pulang mayat pasien, bukankah rumah sakit ini punya mobil ambulans; ada beberapa bahkan. Itu satu ada yang parkir di garasinya. Kenapa lagi pasalnya?
Ada yang bilang mobilnya siap, Cuma bensinnya harus ditanggung pasien, sekalipun orang susah? Berapa, ya besarannya? Harga bensin itu? Dua ratus ribu! Lagi-lagi ada yang sok tahu., menyebut angka itu.
Kalau cuma dua ratus ribu itu mah kecil! Tapi bagi orang banyakan duit. Tapi kasihan nenek itu. Jumlah tersebut teramat besar untuk segera diadakan. Sementara mayat anaknya makin kemalaman di dalam. Suaminya entah di mana? Mungkin tidak punya muka lagi untuk nongol di sini, mempertanggungjawabkan ketidakmampuannya yang terakhir pada sang almarhumah; di hadapan orang banyak lagi. Orang banyak yang sedari tadi mengelilingi dan mengurumuni kekasihanan ini.
Orang banyak atau kalau dibalik saja jadi banyak orang, kupikir barangkali bisa membantu. Misalnya karena banyak, dari mereka bisa dirogoh partisipasinya untuk ikut mencari ‘jalan keluar’. Maksudnya jalan keluar dari rumah sakit ini pulang sampai ke Paguat, kota pelosok asal pasien tersebut.
Sampai di situ, terbersit dalam pikiranku bagaimana mencari dan menggugah simpati mereka itu dari hati yang paling dalam. Sesegera mungkin, karena waktu makin mepet. Kubisikkan ide itu pada seseorang di sampingku.
“Mas, bagaimana kalau kita minta uluran bantuan dari orang orang ini. Biar sedikit-sedikit pasti bisa mencapai . . . .”
“Berapa yang dibutuhkan?” orang itu tertarik dengan inisiatifku.
“Katanya dua ratus. Saya punya cara begini: kita cari kertas dan pulpen untuk mencatat setiap uang yang masuk, lalu . . . “
“Terserah bagaimana baiknya!” sela orang itu menyetujui saja ideku.
Aku segera menghilang, dan dari ruangan adiministrasi di situ aku mendapatkan secarik kertas. Kalau pulpen selalu ada di sakuku. Siap, aku melapor ke kawan baru tadi.
“Bagaimana kalau mulai dari kita dulu. Supaya jadi awal yang baik. Saya menyumbang. . .berapa, ya?” seraya merogoh saku dan meloloskan selembaran uang.
“Sepuluh ribu dari saya. Kalau, bapak…?” tanyaku
“Berapalah, tidak usah banyak-banyak!”.sambungku. “Yang penting sedikit-sedikit jadi bukit dan ada buktinya: uang yang terkumpul dan catatan ini.” Aku mulai menulis jumlah uangku di lembaran kertas tadi.
“Saya sepuluh ribu!” sodor orang itu memberikan sumbangsihnya.
“Okey, tambah sepuluh ribu!” Langsung kutulis, juga jumlahnya: dua puluh ribu; dengan membuat garis jumlah di sebelah kanan.
Dan mulailah ‘tugas berat’ ini; bagaimana bisa membujuk orang-orang lain untuk ikut menyumbang. Sambil membentangkan kertas bercatatan, aku menjelaskan maksud dan target gerakan kecil ini. Ada satu dua orang yang spontan memberi biar cuma beberapa ribu, sementara orang lain pada memandang kami ragu.
So… what?!! Hati saya sempat tercekat. Tapi kenyataan tak pernah salah! Mereka ragu, itu hak mereka; dan tidak salah. Karena toh kami bukan orang yang harus dipercaya. Bisa saja uang itu kami tilap, pikir mereka. Tapi kami harus buru-buru. Jadi tidak perlu berlama-lama menyakinkan mereka. Siapa tahu orang lain bisa tampil beda.
Melihat cara kami yang transparan, mencatat dan langsung menjumlahkannya, ternyata lebih banyak yang memberi bahkan spontan sebelum kami memintanya.
“Jadi tadi Rp.20.000 + 10.000 = 30.000 + 2.000 = 32.000 + 5.000 = 37.500 rupiah…….+ 5.000 (dari kawan sepemrakarsa tadi menambahkan lagi sumbangannya) = 42.000 + 1.000 + 2.500 = 45.500 + 10.000 = 55.500 + 1000 = 56.500 + 7.500 = 64.000 . . . . . . .”
Selagi ada jeda (kesenyapan memberi sesaat), timbul ideku mendekati nenek, eh ibu tua itu, yang sedari tadi melihat kami dengan caranya (heran campur tanda tanya). Kurangkul dan kugamit dia sembari menyodorkan uang yang terkumpul tersebut. Sambil memintanya menangkup uang tersebut kuajak dia berjalan menemani langkah-langkah kami meminta sumbangan.
Alhamdullilah, cara ini tak dinyana malah membangkitkan rasa keperdulian
orang orang itu, dan makin banyak mengerubungi kami.
“Enam puluh empat ribu, sudah terkumpul! Tinggal seratus tigapuluh empat ribu rupiah! Siapa yang berikut? Demi nenek ini, kasihan anaknya sudah meninggal; buat ongkos pulang, butuh dua ratus ribu sampai ke Paguat. Ya ya mari…, berapa bapak punya?”
“ Rp 20.000? Wah, terima kasih banyak! Tadi Rp 64.000 ditambah, jadi Rp 84.000. O ini satu lagi, adik mau nambah. . . berapa? Ok seribu, terima kasih, terima kasih, berapa tidak jadi soal. Jadi Rp.85.000! Tambah lagi Rp. 5.000 juga 3.000 dan ini 7.000 sudah berapa ya???
Seratus ribu rupiah, suara seseorang. Nah, sudah seratus ribu tinggal seratus lagi. Siapa yang berikut?!!
Beberapa orang bahkan menambahkan lagi jumlah sumbangannya, , membuat hati kami terharu dan ibu tua itu, yang sedari tadi menghandel uangnya mulai berkaca-kaca, menitikkan tetesan kristal di pelupuk matanya yang sudah mengeriput.
“Sabar. Bu, kuatkan hati ibu ! “ Aku menghiburnya. Eh, kuralat, air mata itu jelas bukan ekspresi kesedihan, sebaliknya terharu melihat luapan simpati dari orang-orang. Terlebih ketika . . .
“Pak, saya mau kumpul pada orang-orang bentor di jalan?” suara saran seorang pengemudi bentor yang coba mengambil inisiatif menghimpun dana dari sesama komunitasnya di parkir antrian. Bentor adalah becak bermotor, kenderaan khas di daerah kami.
“Ya ya, silakan saja!” qku senang dan mengsuportnya.
“Sudah seratus limapuluh enam ribu! Tinggal empat puluh ribu! Siapa yang mau nambah, mari beramal demi ibu ini dan, demi. . . ?(apa ya, ah demi kian saja)
Tak sadar aku sudah jadi kayak penyebar obat yang teriak-teriak supaya barangnya laku. Pengalaman baru sekaligus pengamalan butir-butir Pancasila: mencintai dan mengasihi sesama. Hehehe.
Kalau sifat memberi sih, punya aku hanya sedikit. Sedikit pelit maksudnya. Tadi selagi orang2 ada yang pada nambah sumbangannya, aku tidak sama sekali. Biarlah, toh akan terkumpul juga. Lagi pula ditambah saja dengan aku tidak mengharap imbalan apa-apa. . . .?
He, sudah berapa? Ngelamun ya. . .?
Sudah Rp. 186.500, tinggal Rp 13.500, sedikit lagi . . . .
“Woooeiih, di sini sudah terkumpul Rp.31.500 !!” teriak seseorang dari arah jalan. Aku baru sadar dari luar ada misi(pengemudi bentor) yang sedang jalan. Berarti ditambah jumlah itu sudah lebih dari dua ratus ribu yang dibutuhkan. Dan masih terus bertambah lagi uluran tangan satu dua yang muncul dari kiri kanan muka belakang.
Tidak sadar, selagi gerak kumpul2 sumbangan itu, rasanya aku melihat bayangan gerak cepat pihak rumah sakit sedang menyiapkan mobil ambulans. Ow, tergerak juga hati mereka, siap-siap berangkat setelah uangnya terkumpul. Tapi ada suara sumbang menyeruak: “ dorang jaga(mereka khawatir) jangan sampai ada wartawan yang modapariki(keburu muncul)! Tentunya bakal mengekspose aksi galang solidaritas ini, dan itu akan mencoreng citra Rumah Sakit yang tak mau perduli.
Oo jadi karena itu? Batinku. Terus uang yang sudah terkumpul lebih ini, mau dikasih ke siapa? Supirnya? Ketika kuberitahukan uang itu segera diberikan kepada seseorang yang bergegas dengan kesiapan ambulans, gepokan uang itu tidak langsung diterimanya.
Dan mayat itu, ibu tua itu, juga anak mantunya sudah ada di dalam ambulans, siap untuk segera ‘dipulangkan’ . Tadi, tidak sadar kuingat bayangan dan dekapan ibu tua itu sempat memelukku sambil terbata-bata mengucapkan terima kasih, juga memegang tanganku yang (khilaf) tidak kusambut, mau berjabat tangan ngkali? Aku hanya lagi terhenjak dengan kenyataan ini.
Sesaat aku sadar mau menyerahkan catatan tadi sebagai bukti uang nya sejumlah yang tercatat di situ, ibu tua itu dengan isyaratnya menolak. Diambil saja buat kenang-kenangan, pikirku. Tak lupa kutanyakan siapa nama anaknya yang meninggal, lalu kutulis di belakang kertas itu.
Sesaat sebelum mobil ambulance itu meninggalkan halaman Rumah Sakit, ada yang berteriak:
“Oma, kalau mereka tidak mau ambil uang itu, pakai saja untuk acara kedukaan. . .!”
Suatu saran yang baik, semoga didengar oleh petugas ambulans itu.
Selamat jalan Ibu Tua ! Semoga arwah anakmu diterima di sisiNya.
By ; Rahman Wahyu, Gtlo 31 Mei 2010
(Sesaat mengenang almarhumah Bunda yang telah berpulang ke Rahmatullah hampir dua tahun silam)

2 responses to this post.

  1. cerita yg menyentuh, sebuah potret yg menunjukkan bahwa kebaikan tidak dapat hanya disuarakan saja, tapi lebih penting lagi harus segera dimulai.

    salam persahabatan

    Balas

  2. Sebuah kisah nyata sebenarnya dalam perjalanan hidup, dengan keperduliannya sempat singgah diri ini dalam realitas sosial di situ.
    Salam sahabat blogwalk! Kalau sempat seringlah mampir. Ruang ini selalu terbuka dengan yang datang dan punya niat berbagi wawasan.

    Balas

Tinggalkan komentar